Jumat, 05 Oktober 2012

STRUKTUR ORGANISASI MILITER TERPADU



Organisasi militer secara umum memiliki kekhasan orientasi yang tentu berbeda dengan organisasi sipil. Yahya Muhaimin menulis bahwa ciri organisasi militer yang mendorongnya untuk selalu berorientasi pada perubahan dan modernitas ialah hakikat dari lembaga kemiliteran untuk berlaga melawan organisasi militer negara lain guna melindungi eksistensi dan keamanan bangsa dan negaranya. Oleh karena itu harus selalu memperbaharui diri supaya tidak lebih lemah dari musuhnya.   Karena itu, organisasi kemiliteran modern senantiasa harus memiliki orientasi standar internasional [Taher, Elza Peldi (Ed), 1987, Menatap Masalah Pembangunan Indonesia,  Lembaga Kajian Manajemen Indonesia, Jakarta ].

     Dengan ciri demikian, organisasi militer dalam kerangka modernisasi tentu memerlukan inovasi strategis yang harus mengkombinasikan dukungan anggaran yang tidak sedikit dengan pemberdayaan semua sumber daya secara simultan dan terarah.

     Tulisan Brigjen TNI Nurhadi Purwosaputro, M.Sc. dengan judul Teknologi Modern dan Pertahanan Keamanan Nasional [Karim, M. Rusli dan Ridjal Fauzie (Ed), 1992, Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta] memperdalam pemahaman tentang bagaimana hubungan militer dan teknologi. Dalam tulisan itu dinyatakan bahwa pesawat terbang harganya sangat mahal, sehingga dapat menguras sumber daya ekonomi negara pembeli (biasanya sumber dayanya terbatas). Akan tetapi seandainya negara sedang berkembang tersebut secara finansial mampu, kesulitan yang lebih mendasar tetap menjadi tantangan. Kesulitan ini berkisar dengan sumber daya kesisteman sebagai unsur pendukung untuk mencapai tingkat optimasi operasional bagi pesawat modern. Hal ini disebabkan arti modern yang ditandai dengan tingkat komputerisasi canggih tersebut tidak dipersepsi dengan baik (hanya pesawatnya itu sendiri), semestinya (justru ini yang paling penting) keseluruhan sistem pendukung harus telah mencapai dimensi komputerisasi yang memadai. Jadi diperlukan pula peningkatan dimensional baik ditinjau dari segi personel maupun organisasi. Negara-negara sedang berkembang pada umumnya belum siap menghadapi ini. Kalau kesenjangan (discrepancy) antara teknologi yang diadopsi dengan disposisi pendukung belum teratasi maka proses alih teknologi akan mengalami hambatan serius.

     Militer harus memainkan peran penting dalam mencari terobosan untuk memantapkan manajemen organisasi dengan mengacu pada kecenderungan yang digunakan oleh organisasi modern tanpa meninggalkan hakiki keorganisasiannya sebagai organisasi yang bergerak dan berfungsi dalam bidang militer. Makna penting disini adalah bagaimana memberdayakan SDM sebagai pusat perubahan proses dalam organisasi. Hal ini sejalan dengan yang pernah ditulis oleh Gary Dessler dalam bukunya Human Resources Management. Desller menulis antara lain bahwa perubahan-perubahan dalam lingkungan manajemen SDM menuntut SDM untuk memainkan peranan yang lebih utama dalam organisasi. Trend ini mencakup keragaman angkatan kerja yang terus bertambah, perubahan teknologi yang cepat, globalisasi, dan perubahan-perubahan dalam dunia kerja. seperti pergeseran ke arah masyarakat jasa dan tekanan yang terus berkembang pada pendidikan dan modal manusia [Dessler, Gary, 1997, Human Resources Management, Seventh Edition, Prentice Hall, Inc. New Jersey 07458].


>>> Bulan Maret, di mana saat modul perang akan diimplementasikan sudah di depan mata dan telah tiba saatnya bagi Erepublik Indonesia (EI) untuk bergerak menata kekuatan militernya. Berbagai usulan dan saran untuk menentukan stuktur organisasi militer yang sebaiknya diterapkan oleh EI pun telah dilemparkan. Saat ini pemerintah pun telah mengeluarkan pengumuman resmi tentang  organisasi militer yang akan diterapkan dalam menghadapi perang.

>>> Yang perlu diperhatikan, di sini bukan membahas tentang strategi militer yang akan diterapkan, akan tetapi lebih mengenai perbandingan antara struktur organisasi web based yang ditawarkan oleh pemerintah dengan struktur unit terpadu. Di mana struktur organisasi militer yang efektif akan dapat menentukan penerapan segala macam bentuk strategi militer nantinya.

>>> Seperti yang terlihat di pernyataan pers resmi dari pemerintah di atas, struktur organisasi militer yang ditawarkan pemerintah menitikberatkan pada pembagian pasukan militer EI menjadi 2 bagian utama, yaitu pasukan bertahan (INFT) dan menyerang (INFS), selain itu ada pula pasukan propinsi (regional) dan pasukan pendukung (support). Di mana hanya mereka yang memiliki kekuatan militer 4 atau lebih, yang dapat bergabung dengan pasukan menyerang atau bertahan dan keputusan untuk memilih jenis pasukan diserahkan kepada penduduk (free will). Sisanya bagi mereka yang berkekuatan militer lebih rendah ( 3 atau lebih), dianjurkan masuk ke pasukan regional. Pasukan regional terdiri dari 30 anggota yang bekekuatan militer tertinggi dan bisa saja termasuk anggota pasukan penyerang atau pasukan bertahan. Untuk tim pendukung, yang akan menyuplai pasukan utama, bisa terdiri dari siapa saja. Masing2 pasukan bertahan dan menyerang akan mempunyai panglima sendiri dan gubernur menjadi pemimpin pasukan regional serta koordinasi militer utama dijalankan dari forum. (
forum.erepublikindonesia.com )


>>> Sedangkan sistem unit terpadu menawarkan pembagian pasukan militer utama EI langsung berdasarkan propinsi (regional) dan kemudian akan dibagi lagi menjadi unit-unit terpadu yang masing2 terdiri dari 30 prajurit (maksimal). Mengapa 30? Karena keterbatasan kapasitas inbox/outbox di EREPUBLIK (ER) sehingga untuk dapat melaksanakan koordinasi komando di dalam suatu unit cukup dilakukan di ER. Komando antar unit baik yang satu propinsi maupun antar propoinsi bisa dilakukan di forum. Di mana komandan seluruh unit dalam satu propinsi bertanggung jawab kepada gubernur atau panglima daerah (pangda) yang ditunjuk dan untuk selanjutnya pemegang komando tertinggi ada di panglima besar (utama), bisa presiden atau menhankam. Untuk itu keputusan unit2 mana yang menjadi unit penyerang atau bertahan bisa ditentukan oleh komando tertinggi atau ditentukan oleh strategi yang akan ditetapkan berdasarkan situasi yang akan dihadapi kelak.

>>> Sampai di sini, terlihat bahwa perbedaan terbesar antara kedua sistem terletak pada pembagian kategori pasukan utama, di mana pada sistem pemerintah langsung diadakan pembagian pasukan bertahan dan penyerang dari awal seorang prajurit bergabung. Sementara pada sistem unit terpadu, penentuan unit penyerang dan bertahan akan ditentukan berdasarkan situasi yang dihadapi kelak. Mengenai lokasi pusat komando dan pelaksanaan absensi harian, kedua sistem menerapkan metode yang identik. Di mana kedua kegiatan ini akan dilakukan di forum, oleh karena itu seluruh penduduk aktif EI diharapkan telah terdaftar di sana.

>>> Selanjutnya akan dibahas lebih mendetil tentang masing-masing sistem.
Kelebihan sistem pemerintah adalah bahwa setiap penduduk dapat memilih sejak awal, berdasarkan kehendak masing2, akan bergabung dengan pasukan penyerang ataukah dengan pasukan bertahan. Dengan demikian pemerintah tidak perlu memilah-milah lagi prajurit mana yang akan berperang dan mana yang akan bertahan, karena semua itu telah terlihat jelas. Bila EI diserang, maka pasukan bertahan (INFT) yang akan bergerak ke propinsi2 yang diserang untuk menolong pasukan regional dan bila akan menyerang, maka pasukan penyerang (INFS) yang akan dikerahkan. Bila perlu pasukan bayaran (guardian) akan disewa untuk membantu saat bertahan.

>>> Tetapi kelebihan inilah yang sekaligus menjadi kelemahan utama dari sistem pemerintah. Dengan pembagian pasukan berdasarkan kriteria bertahan dan menyerang dari awal, perintah dapat lebih mudah diberikan ke masing2 pasukan. Akan tetapi hal ini menyebabkan komando menjadi kekurangan fleksibilitas strategi militer dalam menghadapi berbagai situasi.

Kelemahan stuktur web-based pemerintah

ini  bila dilihat dari segi

1. Komando militer: Dalam sistem komando militer, bukankah komando tertinggi yang akan menentukan seorang prajurit untuk bertahan atau menyerang? Dan bukan berdasarkan pilihan pribadi dari masing2 prajurit. Memang ini akan membatasi kebebasan dalam memilih (freewill) tapi bukankah keseragaman yang menjadi ciri khas suatu organisasi militer? Fleksibilitas komando akan berkurang karena keterbatasan wewenang untuk menentukan strategi yang tepat kelak.

2. Jumlah: Bila pilihan untuk bertahan atau menyerang diserahkan ke setiap prajurit, maka bisa saja nanti akan terjadi ketimpangan jumlah pasukan bertahan bila sebagian besar prajurit EI ingin berpartisipasi dalam pasukan penyerang atau EI lebih sering terlibat dalam penyerangan. Hal yang sama juga berlaku sebaliknya, EI akan kekurangan pasukan penyerang bila sebagian besar penduduk bergabung ke pasukan bertahan.

3. Kriteria pasukan: Dengan menganjurkan kriteria minimal kekuatan militer (military strength) untuk bergabung ke dalam pasukan penyerang atau bertahan maka ini akan membatasi fleksibilitas strategi, di samping jumlah dari pasukan itu sendiri. Bukankah para prajurit dengan kekuatan militer lebih rendah dapat membuka jalan bagi rekan2nya yg berkekuatan lebih tinggi? Tentunya tanpa mengorbankan prajurit2 yang masih rendah kekuatan militernya. Karena tiap prajurit, menurut aturan, dapat mundur setiap saat.

4. Biaya: Adanya pembagian secara terpisah antara pasukan penyerang dan bertahan, maka bila EI kekurangan jumlah pasukan bertahan (INFT) yang aktif, suatu propinsi terpaksa mengeluarkan biaya tambahan untuk menyewa guardian. Bisa saja pasukan penyerang (INFS) dikerahkan untuk bertahan, tapi dengan demikian fungsi menyerangnya akan menjadi bias, dan pada akhirnya akan beralih fungsi menjadi pasukan bertahan (INFT) juga.

5. Strategi: Seperti yang telah disebutkan pada poin2 di atas, dengan keterbatasan wewenang pusat komando untuk menentukan pasukan bertahan dan menyerang, maka penentuan strategi menjadi terbatas serta kurang fleksibel. Hal ini karena strategi yang akan diterapkan menjadi lebih condong ke arah bertahan atau menyerang saja tergantung jumlah pasukan aktif yang dominan.

>>> Bukankah kita harus mengetahui situasi dahulu baru menerapkan suatu strategi? Dan bukan menerapkan strategi pembagian bertahan atau menyerang berdasarkan jumlah pasukan, tanpa mengetahui situasi apa yg akan dihadapi kelak? Apakah dominan bertahan? Atau menyerang?

>>> Kekurangan2 di atas akan dapat diatasi dengan menerapkan sistem unit terpadu, di mana dalam sistem ini setiap prajurit tergabung dalam satu unit tersendiri di masing2 propinsi dan tentunya jumlah unit tergantung dari jumlah penduduk di propinsi tersebut. Untuk selanjutnya pusat komando atau militerlah yang menentukan unit2 mana yang bertahan dan mana yang menyerang. Sesuai perkembangan situasi dan status masing2 prajurit, bisa dilakukan penyesuaian koordinasi dengan melakukan transfer prajurit antar unit se-propinsi atau lintas propinsi. Tentu saja komando dapat saja menentukan dari awal, unit mana yang memiliki spesialisasi untuk menyerang dan mana yang bertahan. Dengan demikian, melalui sistem unit terpadu, komando lebih leluasa untuk menentukan variasi strategi yang akan diterapkan dalam setiap situasi yang ada kelak. Walaupun untuk itu, perlu dipilah-pilah lagi unit2nya berdasarkan kondisi tertentu. Tapi bukankah kedinamisan strategi yang akan membuat suatu kekuatan militer menjadi lebih kuat?