Selasa, 27 November 2012

ORGANISASI MILITER

Bab I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang

Perubahan lingkungan strategis dan momentum reformasi birokrasi menuntut seluruh satuan kerja dan seluruh elemen organisasi Pemerintahan, baik di Pusat maupun Daerah untuk bergerak cepat merespon dinamika masyarakat. Organisasi birokrasi dituntut profesional, efektif dan efisien dalam melaksanakan fungsi dan tugas pokoknya untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran-sasaran strategisnya guna melayani masyarakat.
Pembagian kerja harus disesuaikan dengan kemampuan dan keahlian sehingga pelaksanaan kerja berjalan efektif. Oleh karena itu, dalam penempatan karyawan harus menggunakan prinsip the right man in the right place. Pembagian kerja harus rasional/objektif, bukan emosional subyektif yang didasarkan atas dasar like and dislike.
Dengan adanya prinsip orang yang tepat ditempat yang tepat (the right man in the right place) akan memberikan jaminan terhadap kestabilan, kelancaran dan efesiensi kerja. Pembagian kerja yang baik merupakan kunci bagi penyelengaraan kerja. kecerobohan dalam pembagian kerja akan berpengaruh kurang baik dan mungkin menimbulkan kegagalan dalam penyelenggaraan pekerjaan, oleh karena itu, seorang manajer yang berpengalaman akan menempatkan pembagian kerja sebagai prinsip utama yang akan menjadi titik tolak bagi prinsip-prinsip lainnya.
Organisasi TNI sebagaimana organisasi militer lainnya seharusnya mengacu pada doktrin militer yang dimiliki.   Doktrin TNI AD, Doktrin TNI AL, dan Doktrin TNI AU yang sudah disyahkan oleh Kepala Staf Angkatan masing-masing seharusnya dijadikan acuan untuk melaksanakan validasi organisasi angkatan.   Kalau doktrin angkatan memiliki kekhasan, sebagai konsekwensi logisnya organisasi angkatan juga memiliki ciri-ciri tersendiri.   Organisasi TNI AD, TNI AL, dan TNI AU saat ini masih lekat dengan nuansa kebersamaan sehingga penonjolan ciri kekhasan belum terlihat.   Hal ini secara kultur bisa difahami mengingat bahwa integritas angkatan antara TNI AD, TNI AL, dan TNI AU masih harus terlihat pada doktrinnya.   Oleh karena itu apabila kita melihat organisasinya juga demikian.   Misalnya, kenyataan yang ada kalau di TNI AD ada organisasi kewilayahan KODAM, organisasi TNI AL ada ARMATIM dan ARMABAR, dan Organisasi TNI AU   ada KOOPSAU – I dan KOOPSAU – II.  

B . Masalah
Masalah hubungan kerja sama militer setelah lebih dari satu dekade Washington mengembargo persenjataan TNI, Itu semua akan dibahas di BAB PEMBAHASAN.





Bab II
Pembahasan

1.      Landasan Teori
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Panetta telah melakukan pertemuan di sela-sela ASEAN Defence Ministerial Meeting untuk membahas kerja sama bidang militer.
Dikabarkan kedua mentetri ini membahas masalah peningkatan hubungan kerja sama militer setelah lebih dari satu dekade Washington mengembargo persenjataan TNI. Hubungan militer kedua negara renggang 12 tahun akibat isu pelanggaran HAM dilakukan TNI selama rezim Suharto. Misalnya kasus HAM di Timor Timur, Aceh dan Papua.
Seorang pejabat Kemhan AS mengatakan secara bertahap dan terbatas, kerja sama dengan Kopasus dihidupkan kembali 2010 oleh Menteri Pertahanan Robert Gates. Kerja sama ini nampaknya akan terus dipertahankan dan diperkuat setelah Jakarta menunjukkan komitmen untuk mereformasi angkatan bersenjatanya.
“Kami melihat komitmen luar biasa dari TNI dan Kementerian Pertahanan untuk mereformasi angkatan bersenjata,” kata seorang pejabat Kemhan AS kepada AFP. “Hasil dari komitmen ini adalah Amerika Serikat akan memperat kerja sama dengan Indonesia baik dalam lingkup pertukaran personil, pertukaran tenaga ahli, pelatihan dan bahkan perdagangan bidang pertahanan,

2.      Pembahasan
Jurnas.com | PESAWAT tempur F-16 Fighting Falcon milik TNI AU dari Skadron Udara 3 Madiun kembali mengawalpesawat yang membawa Presiden Susilo BambangYudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono besertarombongan dari Madiun ke Jakarta. Empat pesawat F-16 itu mulai mengawal pesawat khusus Boeing 737-800 sejak take-off dari Bandara Iswayudi Madiun, Jawa Timur hingga memasuki wilayah udara Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (14/1) siang. Di Bandara Iswayudi Madiun, Sabtu (14/1) , Komandan Skadron Udara 3, Letkol Pnb Ali Sudibyo mengatakan bahwa satu tugas pesawat tempur yang berada dibawahTNI AU adalah sebagai pengamanan dari VVIP.
Pengamanan dan pengawalan tidak hanya Presiden RI saja dalam melaksanakan kegiatan. "Apabila kemarin seperti KTT yang dilaksanakan di Bali, dimana banyak sekali kepala negara yang datang ke sana, kita melakukan pengamanan dan pengawalan terhadap kegiatan tersebut," katanya.  Menurutnya, pengawalan yang dilakukan penerbang dan empat pesawat F-16 dilakukan kurang lebih sampai di luar dari Lanud Iswayudi, yaitu sampai Kota Semarang pada ketinggian hingga mencapai 28 ribu kaki.  "Kecepatan yang kita gunakan adalah 250 knot, menyesuaikan dengan pesawat kepresidenan," katanya.  Dalam pesawat F-16 itu, juga membawa perlengkapan peluru kendali sebanyak 550. "Kita membawa peluru kendali dari udara ke udara tentunya adalah apabila ada
kemungkinan pelanggaran udara yang masuk ke wilayah kita dan mengganggu dari kegiatan perjalanan Presiden RI, kita harus siap mengamankan dan kita harus melakukan pertempuran bila diperlukan,
Masa suram kemampuan pertahanan Indonesia—akibat kebijakan Amerika Serikat mengembargo pasokan persenjataan pada 1999-2005—terhapus begitu embargo terakhir dicabut pada Maret 2007. Namun, Indonesia tetap sulit memodernisasi peralatan utama sistem persenjataan. Persoalannya bukan pada kebijakan Pemerintah AS, melainkan akibat keterbatasan anggaran pertahanan kita.
“Kebijakan pertahanan yang dibuat oleh Indonesia tidak terganggu atau terpengaruh dengan adanya Pemilihan Presiden Amerika Serikat,” kata Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.
Mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono berpendapat serupa. ”Kebijakan AS akan tetap, siapa pun pemenang dalam pemilihan presidennya,” ujarnya.
Menurut Juwono, siapa pun presiden AS yang terpilih pekan depan—apakah dari kubu Demokrat atau Republiken—keduanya akan tetap sama-sama berkomitmen memperkuat atau setidaknya menjaga varietas dan kesetaraan kemampuan persenjataan tiga negara pantai di Selat Malaka, yaitu Singapura, Malaysia, dan Indonesia.
Ini tak lepas dari perubahan fokus kebijakan AS yang semula lebih ke Timur Tengah menjadi mengarah ke Asia. Maklum, AS sangat berkepentingan mengamankan kawasan Asia Tenggara, terutama terkait pengamanan jalur transportasi dan perdagangan penting dunia di Selat Malaka.
”Kepada Pemerintah AS saya pernah sampaikan, Indonesia butuh alutsista (peralatan utama sistem persenjataan) yang canggih, tidak hanya untuk menjaga wilayahnya sendiri, tetapi juga untuk menjaga stabilitas keamanan di kawasan,” kata Juwono.
Sjafrie menilai, kebijakan pertahanan AS terhadap Indonesia saat ini sudah efektif dan menguntungkan kedua belah pihak. Siapa pun yang menjadi presiden dan menjalankan kebijakan efektif tersebut tidak akan memberikan pengaruh yang jauh berbeda dari yang sudah ada.
”Apalagi, Indonesia sekarang sudah berada dalam posisi regional power (sebagai kekuatan regional) di kawasan,” kata Sjafrie.
Sikap AS ini bisa dilihat dalam pameran Indo Defence 2012 pada 7-10 November mendatang di Jakarta. Untuk pertama kalinya, AS akan membuka stan resmi khusus mewakili negara.
Jumlah negara peserta pun bertambah dari 42 partisipan pada 2010 menjadi 45 negara, termasuk AS yang rencananya akan hadir dengan Lockheed Martin, pembuat mesin pesawat tempur F-16.
Makmur Keliat, pengamat militer regional, juga memiliki pendapat yang sama. Menurut dia, tak ada perubahan substansial dalam soal pendekatan pertahanan AS terhadap Indonesia. Perjalanan selama empat tahun terakhir juga memperlihatkan bagaimana Presiden AS Barack Obama relatif terbuka dalam bekerja sama dengan sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik dan tak terlalu keras dalam masalah China.

Embargo melemahkan
Penembakan demonstran di Santa Cruz, Timor Timur (sekarang Timor Leste), pada 12 November 1991 dan kerusuhan pascareferendum kemerdekaan rakyat Timtim pada 30 Agustus 1999 merupakan dua peristiwa yang menjadi pemicu diterapkannya kebijakan embargo persenjataan AS terhadap Indonesia pada 1999-2005.
Indonesia saat itu bahkan harus menerima kenyataan pahit dengan dihentikannya bantuan hibah berbentuk pelatihan militer yang biasa dilakukan melalui mekanisme international military education and training (IMET).
Saat menjabat sebagai menteri pertahanan di era Kabinet Indonesia Bersatu, Juwono menemui dua senator kunci AS, Russ Feingold dan Patrick Leahy, di Washington.
”Merekalah yang selama ini berperan penting dalam menelaah seberapa jauh proses reformasi TNI (Tentara Nasional Indonesia) telah dilaksanakan di bawah Kementerian Pertahanan Indonesia,” ujar Juwono.
Dalam pertemuan itu, Juwono mencoba menjelaskan posisi Indonesia dan TNI terkait insiden di Timtim. Langkah ini kemudian diikuti dengan kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian membuahkan sinyal akan dicabutnya embargo persenjataan.
Pencabutan embargo tidak dilakukan dalam satu kali kebijakan, tetapi dibagi dalam dua tahap. Yang pertama diberlakukan pada November 2005 yang membuka kembali kebijakan pendanaan militer asing (foreign military finance) dan penjualan militer asing (foreign military sales) untuk persenjataan buatan AS bagi Indonesia. Kebijakan ini muncul setelah Kongres AS menyetujui.
Di tahap pertama itu, Indonesia meminta AS memasok kembali suku cadang untuk seluruh pesawat Hercules milik TNI Angkatan Udara. Dengan begitu, pesawat-pesawat angkut mereka bisa dikerahkan untuk membantu masa tanggap darurat pascabencana tsunami di Aceh.
Tahap kedua terjadi pada Maret 2007. Saat itu, pencabutan embargo terutama diberlakukan untuk semua jenis persenjataan mematikan (lethal weapon) buatan AS. Tahap kedua ini tak kalah penting mengingat sekadar helm pilot TNI AU saja tergolong ”senjata mematikan” hanya karena benda tersebut dianggap merupakan bagian dari kelengkapan pesawat tempur.
Pemberlakuan embargo persenjataan yang berkepanjangan oleh AS dan negara-negara Eropa Barat memang signifikan dalam melemahkan kemampuan tempur militer TNI. Maklum, lebih dari 60 persen varian persenjataan yang dimiliki dan digunakan TNI berasal dari AS. Salah satu contohnya adalah pesawat tempur F-16 dan pesawat angkut Hercules C-130.
Yang paling menyesakkan, embargo tersebut memengaruhi kemampuan TNI yang diandalkan bisa dikerahkan sewaktu-waktu dalam proses tanggap darurat setelah terjadi dua kali bencana di Aceh, 26 Desember 2004 dan 26 Maret 2005. Jangankan untuk mempertahankan wilayah, bahkan untuk beroperasi di Aceh, TNI saat itu mengalami kesulitan.

Anggaran terbatas
Yang menjadi masalah saat ini adalah bagaimana Indonesia bisa memanfaatkan peluang untuk meningkatkan kapasitas pertahanannya. ”Kepentingan utama Indonesia adalah pada segi modernisasi persenjataan kita,” kata Makmur.
Namun, menurut Juwono, persoalannya sekarang Pemerintah Indonesia terbentur pada keterbatasan alokasi anggaran pertahanan walaupun besarannya bertambah signifikan dalam lima tahun terakhir.
Ia lantas menggambarkan bagaimana Pemerintah AS beberapa waktu lalu menawarkan hibah 24 unit pesawat tempur F-16, tetapi spesifikasi teknis pesawat-pesawat itu harus ditingkatkan terlebih dahulu dengan biaya tambahan sebesar 640 juta dollar AS.
”Kita hanya mampu mendanai proses pembaruan kembali (refurbish) pesawat-pesawat tempur itu sebanyak 10 unit,” kata Juwono seraya mengharapkan Indonesia segera bisa memiliki kemampuan keuangan untuk membeli kapal selam bagi TNI Angkatan Laut.
Namun, peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Riefqi Muna, melihat, alokasi anggaran pertahanan Indonesia bakal meningkat seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian di kawasan Asia. Indonesia akan dipandang AS sebagai pasar yang menguntungkan untuk memasarkan produk-produk persenjataan mereka.
Karena itu, Riefqi yakin bahwa Pemerintah AS di masa depan tak akan lagi mempersoalkan dan menerapkan syarat-syarat tertentu terkait dengan isu hak-hak asasi manusia dalam pembelian senjata.

3.      Kesimpulan
kebijakan pertahanan AS terhadap Indonesia saat ini sudah efektif dan menguntungkan kedua belah pihak. Siapa pun yang menjadi presiden dan menjalankan kebijakan efektif tersebut tidak akan memberikan pengaruh yang jauh berbeda dari yang sudah ada.

4.      Saran
Tingkatkan kerja sama AS dan Indonesia sehingga bisa memengaruhi kemampuan TNI yang diandalkan bisa dikerahkan sewaktu-waktu dan Indonesia bisa memanfaatkan peluang untuk meningkatkan kapasitas pertahanan…