Bab I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Perubahan lingkungan
strategis dan momentum reformasi birokrasi menuntut seluruh satuan kerja dan
seluruh elemen organisasi Pemerintahan, baik di Pusat maupun Daerah untuk
bergerak cepat merespon dinamika masyarakat. Organisasi birokrasi dituntut
profesional, efektif dan efisien dalam melaksanakan fungsi dan tugas pokoknya
untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran-sasaran strategisnya guna
melayani masyarakat.
Pembagian kerja harus disesuaikan dengan kemampuan dan
keahlian sehingga pelaksanaan kerja berjalan efektif. Oleh karena itu, dalam
penempatan karyawan harus
menggunakan prinsip the right man in the right place. Pembagian kerja
harus rasional/objektif, bukan emosional subyektif yang didasarkan atas
dasar like and dislike.
Dengan
adanya prinsip orang yang tepat ditempat yang tepat (the right man in the
right place) akan memberikan jaminan terhadap kestabilan, kelancaran dan
efesiensi kerja. Pembagian kerja yang baik
merupakan kunci bagi penyelengaraan kerja. kecerobohan dalam pembagian kerja
akan berpengaruh kurang baik dan mungkin menimbulkan kegagalan dalam
penyelenggaraan pekerjaan, oleh karena itu, seorang manajer yang berpengalaman
akan menempatkan pembagian kerja sebagai prinsip utama yang akan menjadi titik
tolak bagi prinsip-prinsip lainnya.
Organisasi TNI sebagaimana organisasi
militer lainnya seharusnya mengacu pada doktrin militer yang dimiliki.
Doktrin TNI AD, Doktrin TNI AL, dan Doktrin TNI AU yang sudah disyahkan oleh
Kepala Staf Angkatan masing-masing seharusnya dijadikan acuan untuk
melaksanakan validasi organisasi angkatan. Kalau doktrin angkatan
memiliki kekhasan, sebagai konsekwensi logisnya organisasi angkatan juga
memiliki ciri-ciri tersendiri. Organisasi TNI AD, TNI AL, dan TNI
AU saat ini masih lekat dengan nuansa kebersamaan sehingga penonjolan ciri
kekhasan belum terlihat. Hal ini secara kultur bisa difahami
mengingat bahwa integritas angkatan antara TNI AD, TNI AL, dan TNI AU masih
harus terlihat pada doktrinnya. Oleh karena itu apabila kita
melihat organisasinya juga demikian. Misalnya, kenyataan yang ada
kalau di TNI AD ada organisasi kewilayahan KODAM, organisasi TNI AL ada ARMATIM
dan ARMABAR, dan Organisasi TNI AU ada KOOPSAU – I dan KOOPSAU –
II.
B
. Masalah
Masalah hubungan kerja sama
militer setelah lebih dari satu dekade Washington mengembargo persenjataan TNI,
Itu
semua akan dibahas di BAB PEMBAHASAN.
Bab II
Pembahasan
1.
Landasan Teori
Menteri Pertahanan Purnomo
Yusgiantoro dan Panetta telah melakukan pertemuan di sela-sela ASEAN Defence
Ministerial Meeting untuk membahas kerja sama bidang militer.
Dikabarkan kedua mentetri ini
membahas masalah peningkatan hubungan kerja sama militer setelah lebih dari
satu dekade Washington mengembargo persenjataan TNI. Hubungan militer kedua
negara renggang 12 tahun akibat isu pelanggaran HAM dilakukan TNI selama rezim
Suharto. Misalnya kasus HAM di Timor Timur, Aceh dan Papua.
Seorang pejabat Kemhan AS
mengatakan secara bertahap dan terbatas, kerja sama dengan Kopasus dihidupkan
kembali 2010 oleh Menteri Pertahanan Robert Gates. Kerja sama ini nampaknya
akan terus dipertahankan dan diperkuat setelah Jakarta menunjukkan komitmen
untuk mereformasi angkatan bersenjatanya.
“Kami melihat komitmen luar biasa
dari TNI dan Kementerian Pertahanan untuk mereformasi angkatan bersenjata,”
kata seorang pejabat Kemhan AS kepada AFP. “Hasil dari komitmen ini adalah
Amerika Serikat akan memperat kerja sama dengan Indonesia baik dalam lingkup
pertukaran personil, pertukaran tenaga ahli, pelatihan dan bahkan perdagangan
bidang pertahanan,
2.
Pembahasan
Jurnas.com |
PESAWAT tempur F-16 Fighting Falcon milik TNI AU dari Skadron Udara 3 Madiun
kembali mengawalpesawat yang membawa Presiden Susilo BambangYudhoyono dan Ibu
Negara Ani Yudhoyono besertarombongan dari Madiun ke Jakarta. Empat pesawat
F-16 itu mulai mengawal pesawat khusus Boeing 737-800 sejak take-off dari
Bandara Iswayudi Madiun, Jawa Timur hingga memasuki wilayah udara Kota
Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (14/1) siang. Di Bandara Iswayudi Madiun, Sabtu
(14/1) , Komandan Skadron Udara 3, Letkol Pnb Ali Sudibyo mengatakan bahwa satu
tugas pesawat tempur yang berada dibawahTNI AU adalah sebagai pengamanan dari
VVIP.
Pengamanan dan
pengawalan tidak hanya Presiden RI saja dalam melaksanakan kegiatan.
"Apabila kemarin seperti KTT yang dilaksanakan di Bali, dimana banyak
sekali kepala negara yang datang ke sana, kita melakukan pengamanan dan
pengawalan terhadap kegiatan tersebut," katanya. Menurutnya,
pengawalan yang dilakukan penerbang dan empat pesawat F-16 dilakukan kurang
lebih sampai di luar dari Lanud Iswayudi, yaitu sampai Kota Semarang pada
ketinggian hingga mencapai 28 ribu kaki. "Kecepatan yang kita
gunakan adalah 250 knot, menyesuaikan dengan pesawat kepresidenan,"
katanya. Dalam pesawat F-16 itu, juga membawa perlengkapan peluru kendali
sebanyak 550. "Kita membawa peluru kendali dari udara ke udara tentunya
adalah apabila ada
kemungkinan
pelanggaran udara yang masuk ke wilayah kita dan mengganggu dari kegiatan
perjalanan Presiden RI, kita harus siap mengamankan dan kita harus melakukan
pertempuran bila diperlukan,
Masa suram kemampuan pertahanan
Indonesia—akibat kebijakan Amerika Serikat mengembargo pasokan persenjataan
pada 1999-2005—terhapus begitu embargo terakhir dicabut pada Maret 2007. Namun,
Indonesia tetap sulit memodernisasi peralatan utama sistem persenjataan.
Persoalannya bukan pada kebijakan Pemerintah AS, melainkan akibat keterbatasan
anggaran pertahanan kita.
“Kebijakan pertahanan yang dibuat
oleh Indonesia tidak terganggu atau terpengaruh dengan adanya Pemilihan
Presiden Amerika Serikat,” kata Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.
Mantan Menteri Pertahanan Juwono
Sudarsono berpendapat serupa. ”Kebijakan AS akan tetap, siapa pun pemenang
dalam pemilihan presidennya,” ujarnya.
Menurut Juwono, siapa pun presiden
AS yang terpilih pekan depan—apakah dari kubu Demokrat atau Republiken—keduanya
akan tetap sama-sama berkomitmen memperkuat atau setidaknya menjaga varietas
dan kesetaraan kemampuan persenjataan tiga negara pantai di Selat Malaka, yaitu
Singapura, Malaysia, dan Indonesia.
Ini tak lepas dari perubahan fokus
kebijakan AS yang semula lebih ke Timur Tengah menjadi mengarah ke Asia.
Maklum, AS sangat berkepentingan mengamankan kawasan Asia Tenggara, terutama
terkait pengamanan jalur transportasi dan perdagangan penting dunia di Selat
Malaka.
”Kepada Pemerintah AS saya pernah
sampaikan, Indonesia butuh alutsista (peralatan utama sistem persenjataan) yang
canggih, tidak hanya untuk menjaga wilayahnya sendiri, tetapi juga untuk
menjaga stabilitas keamanan di kawasan,” kata Juwono.
Sjafrie menilai, kebijakan
pertahanan AS terhadap Indonesia saat ini sudah efektif dan menguntungkan kedua
belah pihak. Siapa pun yang menjadi presiden dan menjalankan kebijakan efektif
tersebut tidak akan memberikan pengaruh yang jauh berbeda dari yang sudah ada.
”Apalagi, Indonesia sekarang sudah
berada dalam posisi regional power (sebagai kekuatan regional) di kawasan,”
kata Sjafrie.
Sikap AS ini bisa dilihat dalam
pameran Indo Defence 2012 pada 7-10 November mendatang di Jakarta. Untuk
pertama kalinya, AS akan membuka stan resmi khusus mewakili negara.
Jumlah negara peserta pun bertambah
dari 42 partisipan pada 2010 menjadi 45 negara, termasuk AS yang rencananya
akan hadir dengan Lockheed Martin, pembuat mesin pesawat tempur F-16.
Makmur Keliat, pengamat militer
regional, juga memiliki pendapat yang sama. Menurut dia, tak ada perubahan
substansial dalam soal pendekatan pertahanan AS terhadap Indonesia. Perjalanan
selama empat tahun terakhir juga memperlihatkan bagaimana Presiden AS Barack
Obama relatif terbuka dalam bekerja sama dengan sejumlah negara di kawasan Asia
Pasifik dan tak terlalu keras dalam masalah China.
Embargo melemahkan
Penembakan demonstran di Santa Cruz,
Timor Timur (sekarang Timor Leste), pada 12 November 1991 dan kerusuhan
pascareferendum kemerdekaan rakyat Timtim pada 30 Agustus 1999 merupakan dua
peristiwa yang menjadi pemicu diterapkannya kebijakan embargo persenjataan AS
terhadap Indonesia pada 1999-2005.
Indonesia saat itu bahkan harus
menerima kenyataan pahit dengan dihentikannya bantuan hibah berbentuk pelatihan
militer yang biasa dilakukan melalui mekanisme international military education
and training (IMET).
Saat menjabat sebagai menteri
pertahanan di era Kabinet Indonesia Bersatu, Juwono menemui dua senator kunci
AS, Russ Feingold dan Patrick Leahy, di Washington.
”Merekalah yang selama ini berperan
penting dalam menelaah seberapa jauh proses reformasi TNI (Tentara Nasional
Indonesia) telah dilaksanakan di bawah Kementerian Pertahanan Indonesia,” ujar
Juwono.
Dalam pertemuan itu, Juwono mencoba
menjelaskan posisi Indonesia dan TNI terkait insiden di Timtim. Langkah ini kemudian
diikuti dengan kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian
membuahkan sinyal akan dicabutnya embargo persenjataan.
Pencabutan embargo tidak dilakukan
dalam satu kali kebijakan, tetapi dibagi dalam dua tahap. Yang pertama
diberlakukan pada November 2005 yang membuka kembali kebijakan pendanaan
militer asing (foreign military finance) dan penjualan militer asing (foreign
military sales) untuk persenjataan buatan AS bagi Indonesia. Kebijakan ini
muncul setelah Kongres AS menyetujui.
Di tahap pertama itu, Indonesia
meminta AS memasok kembali suku cadang untuk seluruh pesawat Hercules milik TNI
Angkatan Udara. Dengan begitu, pesawat-pesawat angkut mereka bisa dikerahkan
untuk membantu masa tanggap darurat pascabencana tsunami di Aceh.
Tahap kedua terjadi pada Maret 2007.
Saat itu, pencabutan embargo terutama diberlakukan untuk semua jenis
persenjataan mematikan (lethal weapon) buatan AS. Tahap kedua ini tak kalah
penting mengingat sekadar helm pilot TNI AU saja tergolong ”senjata mematikan”
hanya karena benda tersebut dianggap merupakan bagian dari kelengkapan pesawat
tempur.
Pemberlakuan embargo persenjataan
yang berkepanjangan oleh AS dan negara-negara Eropa Barat memang signifikan
dalam melemahkan kemampuan tempur militer TNI. Maklum, lebih dari 60 persen
varian persenjataan yang dimiliki dan digunakan TNI berasal dari AS. Salah satu
contohnya adalah pesawat tempur F-16 dan pesawat angkut Hercules C-130.
Yang paling menyesakkan, embargo
tersebut memengaruhi kemampuan TNI yang diandalkan bisa dikerahkan
sewaktu-waktu dalam proses tanggap darurat setelah terjadi dua kali bencana di
Aceh, 26 Desember 2004 dan 26 Maret 2005. Jangankan untuk mempertahankan
wilayah, bahkan untuk beroperasi di Aceh, TNI saat itu mengalami kesulitan.
Anggaran terbatas
Yang menjadi masalah saat ini adalah
bagaimana Indonesia bisa memanfaatkan peluang untuk meningkatkan kapasitas
pertahanannya. ”Kepentingan utama Indonesia adalah pada segi modernisasi
persenjataan kita,” kata Makmur.
Namun, menurut Juwono, persoalannya sekarang
Pemerintah Indonesia terbentur pada keterbatasan alokasi anggaran pertahanan
walaupun besarannya bertambah signifikan dalam lima tahun terakhir.
Ia lantas menggambarkan bagaimana
Pemerintah AS beberapa waktu lalu menawarkan hibah 24 unit pesawat tempur F-16,
tetapi spesifikasi teknis pesawat-pesawat itu harus ditingkatkan terlebih
dahulu dengan biaya tambahan sebesar 640 juta dollar AS.
”Kita hanya mampu mendanai proses
pembaruan kembali (refurbish) pesawat-pesawat tempur itu sebanyak 10 unit,” kata
Juwono seraya mengharapkan Indonesia segera bisa memiliki kemampuan keuangan
untuk membeli kapal selam bagi TNI Angkatan Laut.
Namun, peneliti pada Pusat
Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Riefqi Muna, melihat,
alokasi anggaran pertahanan Indonesia bakal meningkat seiring dengan membaiknya
kondisi perekonomian di kawasan Asia. Indonesia akan dipandang AS sebagai pasar
yang menguntungkan untuk memasarkan produk-produk persenjataan mereka.
Karena itu, Riefqi yakin bahwa
Pemerintah AS di masa depan tak akan lagi mempersoalkan dan menerapkan
syarat-syarat tertentu terkait dengan isu hak-hak asasi manusia dalam pembelian
senjata.
3.
Kesimpulan
kebijakan pertahanan AS terhadap
Indonesia saat ini sudah efektif dan menguntungkan kedua belah pihak. Siapa pun
yang menjadi presiden dan menjalankan kebijakan efektif tersebut tidak akan
memberikan pengaruh yang jauh berbeda dari yang sudah ada.
4.
Saran
Tingkatkan kerja sama AS dan
Indonesia sehingga bisa memengaruhi kemampuan TNI yang diandalkan bisa dikerahkan
sewaktu-waktu dan Indonesia bisa memanfaatkan peluang untuk meningkatkan
kapasitas pertahanan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar